Oleh Nanoq da Kansas

Sejak Negara Republik Indonesia ini didirikan (merdeka), para pendiri bangsa dengan dukungan penuh seluruh rakyat telah sepakat mencantumkan kalimat “Bhinneka Tunggal Ika” pada lambang negara Garuda Pancasila. Kalimat itu sendiri diambil dari falsafah Nusantara yang sejak jaman Kerajaan Majapahit juga sudah dipakai sebagai motto pemersatu wilayah di kawasan Nusantara. Ini artinya, bahwa sudah sejak dulu sekali, jauh sebelum jaman menjadi modern seperti sekarang, jauh sebelum bangsa ini menjadi terdidik dengan tingkat intelektualitas tinggi seperti sekarang, kesadaran akan hidup bersama di dalam keberagaman sudah tumbuh dan menjadi jiwa serta semangat anak-anak banga di negeri ini.

Tetapi memasuki abad 21, di mana anak-anak Bangsa Indonesia telah menjadi bangsa yang terdidik, bangsa yang banyak sekali punya orang pintar alias kaum inteletual yang ilmunya bahkan diperoleh dari sekolah-sekolah tinggi di luar negeri, sebuah kata, yaitu “pluralisme” yang artinya sama dengan keberagaman, tiba-tiba saja menjadi istilah yang begitu gencar disebut. Setiap orang seakan kurang yakin dengan keintelekannya bila tidak menyebut kata pluralisme setiap kali bicara, berdiskusi, berpidato dan lain sebagainya.

Kenapa istilah pluralisme itu mendadak jadi trendi? Padahal jauh sebelum kata itu diucapkan oleh para intelektual modern kita, bangsa ini sudah sangat terbiasa dengan keberagaman yang “bhinneka” itu. Bangsa ini sudah berabad-abad kita hidup dalam kebersamaan dengan perbedaan yang ada di negeri ini. Berbeda warna kulit, berbeda bahasa, berbeda adat istiadat, berbeda agama, dan berbeda dalam banyak hal lagi.

Kalau harus mengingat-ingat, istilah pluralisme itu ternyata menjadi ngetren gara-gara belakangan inl kita sering sekali berkonflik. Anak-anak bangsa dengan membawa nama agama, nama partai, nama suku, nama desa, nama banjar bahkan nama keluarga, semakin sering saja berkelahi. Bentrok semakin sering terjadi, bahkan sampai memakan korban jiwa ratusan atau ribuan. Mulai saat itulah istilah pluralisme menjadi latah diucapkan. Dan sayangnya, istilah pluralisme itu lama-lama malah dijadikan “barang dagangan” oleh oknum-oknum tertentu untuk mencari uang. Dengan alasan untuk memediasi bentrok antar massa, proposal tentang pluralisme dijual ke luar negeri. Lalu suatu lembaga luar negeri memberi bantuan dana untuk kegiatan mediasi penyadaran bagi anak-anak bangsa ini untuk rukun, untuk berdamai, untuk saling menghargai dan menghormati. Ribuan kali sudah pertemuan yang bernama seminar, diskusi, pelatihan, pemberdayaan tentang kerukunan digelar dari tingkat rakyat jelata hingga oleh para elit dengan dana begitu banyak. Tetapi konflik toh masih sering terjadi tak terduga-duga. Hanya gara-gara masalah sangat sepele, sekarang anak-anak bangsa bisa bentrok, berkelahi, berperang antar kelompok dan seterusnya. Dan sementara itu, bangsa-bangsa lain di luar sana, bangsa-bangsa yang telah memberi kita dana untuk memahami pluralisme terpingkal-pingkal menertawai kita.

Bangsa yang Lupa
Suka atau tidak suka, kiranya ada sesuatu yang salah pada bangsa kita. Bahwa kenapa ketika bangsa ini sudah menjadi bangsa yang maju, justru makin sering bermasalah dengan sesama anak bangsa. Kenapa dulu ketika sekolah masih jarang, masjid masih jarang, pura masih jarang, gereja masih jarang, partai politik masih jarang, bangsa ini bisa akur-akur saja, benar-benar merasa senasib sepenanggungan dan penuh toleransi? Kenapa sekarang ketika kita makin sering beribadat, makin sering mendapat pencerahan rohani, makin pintar berpolitik, makin kaya, kita justru terpuruk ke dalam prilaku primitif, barbar, dan tidak bisa bertoleransi?

Sebuah jawaban sederhana dan juga mungkin primitif adalah, bahwa kita sekarang sudah menjadi bangsa yang lupa. Bukan lupa apa, tetapi lupa diri. Kita telah melupakan siapa diri kita sesungguhnya. Kita lupa, bahwa kita semua ini adalah sama-sama mahluk Tuhan yang bernama manusia dan menjadi bangsa bernama Indonesia.

Yang ada di benak kita saat ini hanyalah, bahwa aku orang Hindu, aku orang Islam, aku orang Kristen, aku orang Bali, aku orang Jawa, aku orang Ambon, aku orang Aceh, aku orang Madura, aku orang Betawi, aku orang kaya, aku orang Golkar, aku orang PDI-P, aku orang Demokrat, aku orang PNI, aku orang PAN, aku orang PKB, aku orang PKS, aku pengusaha, aku polisi, aku pejabat, aku Brahmana, aku Anak Agung, aku Pasek, aku Pande, aku Arya, aku Gusti, dan seterusnya.

Yang ada di benak kita saat ini adalah, bahwa aku orang baik-baik – dia orang jahat, aku orang terhormat – dia pelacur, aku orang beriman – dia kafir, aku lebih banyak – dia sedikit, aku berkuasa – dia hanya jelata, aku berjasa – dia kere, aku tuan rumah – dia pendatang, dlllllll.
Kita lupa kebhinnekaan bangsa ini. Kita lupa para leluhur, para pendahulu kita begitu bijaknya sehingga mampu membuat bangsa ini menjadi besar. Kita lupa, kebesaran bangsa ini justru karena dulu dibangun dan diperjuangkan oleh Jawa, Batak, Bali, Aceh, Bugis, Ambon, Madura, Dayak, dan sebagainya. Kita lupa, bahkan saat merebut kemerdekaan dulu, seluruh anak-anak bangsa ini sama-sama berperan. Dari para kiai, ulama, pendeta, politikus, seniman, guru, tentara, polisi, petani, hingga dukun, tukang santet, maling dan pelacur punya peran masing-masing untuk membuat bangsa ini merdeka. Semua ikut berjuang dengan peran dan keahlian masing-masing, dan tentu saja dengan porsi masing-masing.

Kesadaran Bersama
Jika sekarang ditulis atau dibicarakan, mungkin kita bisa menghabiskan ribuan lembar kertas dan ratusan hari hanya untuk mengingat-ingat berbagai masa lalu yang telah membuat kita menjadi Indonesia. Tetapi apalah gunanya bila kita hanya mengingat-ingatnya dengan penuh rasa romantis, tetapi setelah di luar sana nanti kita kembali menjadi orang, golongan atau kaum yang lain lagi.

Yang harus kita lakukan adalah, dengan kesadaran baru yang ada pada tingkat kecerdasan, keintelektualan, serta kemajuan kita sekarang ini, bahwa bangsa ini dibangun dengan pilar bernama Bhinneka Tunggal Ika. Tidak usah yang lain lagi. Tidak usah mengutip-ngutip istilah agama karena istilah dalam agama itu akan memberi kesan hanya agama itu yang paling baik. Ini akan membuat orang lain tersinggung. Apalagi negara dan bangsa ini sudah jelas-jelas bukan berlandaskan suatu agama. Negara ini berlandaskan ketuhanan yang artinya memberi kebebasan kepada semua agama untuk sama-sama hidup di sini. Yang harus kita kampanyekan terus-menerus adalah bahwa semua agama, semua golongan, semua profesi, semua partai, adalah pilar-pilar yang membuat bangunan bangsa ini kuat. Bahwa satu pilar saja rusak, satu pilar saja diabaikan, maka bangunan bangsa ini akan berkurang kekuatannya.

Maka bila kita bicara soal nilai-nilai luhur bangsa, tiada lain kita hanya punya Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika itu. Karena hanya dua keyakinan itulah yang telah mengantarkan kita sampai hari ini menjadi sebuah bangsa yang terus semakin besar di antara bangsa-bangsa lain di atas bumi ini. Tidak perlu lagi kita sok-sokan menciptakan nilai-nilai luhur yang baru, yang entah dikutif dari mana sehingga menjadi entah bernama ajeg ini ajeg itu, syariat ini syariat itu, filosofi ini folosofi itu. Karena yang sudah teruji selama berpuluh-puluh tahun bisa membuat Negara dan Bangsa Indonesia tetap ada hingga hari ini toh itu yang bernama Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Kalau lantas sekarang kita mau menciptakan nilai-nilai luhur bangsa yang baru, kita harus mengujinya dulu. Cara mengujinya, adalah kita harus memanggil bangsa lain dulu untuk kembali menjajah kita selama berabad-abad, lalu kita berjuang lagi dengan nilai-nilai luhur baru itu. Sanggup tidak? Saya tidak yakin kita akan sanggup. Karena jangankan dijajah bangsa lain lain, dijajah harga beras mahal saja sekarang ini kita sudah tak berdaya. Dijajah mertua saja kita sudah loyo. Maka sekali lagi, mulai saat ini kita tak boleh lupa lagi bahwa kita adalah bangsa bernama Indonesia, punya Indonesia, milik Indonesia, dengan prinsip bersama Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi satu! Titik!

Nanoq da Kansas, penyair, kolumnis, penggiat teater dan petani
Tinggal di Jembrana – Bali.

Lanjut membaca “Bhinneka Tunggal Ika: Nilai Luhur Budaya Bangsa untuk Tetap Menjadi Indonesia”  »»

Sirih Merah sebagai Tanaman Obat Multi Fungsi

Tanaman sirih merah (Piper crocatum) termasuk dalam famili Piperaceae, tumbuh merambat dengan bentuk daun menyerupai hati dan bertangkai, yang tumbuh berselang-seling dari batangnya serta penampakan daun yang berwarna merah keperakan dan mengkilap. Dalam daun sirih merah terkandung senyawa fitokimia yakni alkoloid, saponin, tanin dan flavonoid. Sirih merah sejak dulu telah digunakan oleh masyarakat yang berada di Pulau Jawa sebagai obat untuk meyembuhkan berbagai jenis penyakit dan merupakan bagian dari acara adat. Penggunaan sirih merah dapat digunakan dalam bentuk segar, simplisia maupun ekstrak kapsul. Secara empiris sirih merah dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit seperti diabetes militus, hepatitis, batu ginjal, menurunkan kolesterol, mencegah stroke, asam urat, hipertensi, radang liver, radang prostat, radang mata, keputihan, maag, kelelahan, nyeri sendi dan memperhalus kulit. Hasil uji praklinis pada tikus dengan pemberian ekstrak hingga dosis 20 g/kg berat badan, aman dikonsumsi dan tidak bersifat toksik. Sirih merah banyak digunakan pada klinik herbal center sebagai ramuan atau terapi bagi penderita yang tidak dapat disembuhkan dengan obat kimia. Potensi sirih merah sebagai tanaman obat multifungsi sangat besar sehingga perlu ditingkatkan dalam penggunaannya sebagai bahan obat moderen.

Tanaman sirih mempunyai banyak spesies dan memiliki jenis yang beragam, seperti sirih gading, sirih hijau, sirih hitam, sirih kuning dan sirih merah. Semua jenis tanaman sirih memiliki ciri yang hampir sama yaitu tanamannya merambat dengan bentuk daun menyerupai hati dan bertangkai yang tumbuh berselang seling dari batangnya.

Sirih merah (Piper crocatum) adalah salah satu tanaman obat potensial yang sejak lama telah di-ketahui memiliki berbagai khasiat obat untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit, disamping itu juga memiliki nilai-nilai spritual yang tinggi. Sirih merah termasuk dalam satu elemen penting yang harus disediakan dalam setiap upacara adat khususnya di Jogyakarta. Tanaman ini termasuk di dalam famili Pipe-raceae dengan penampakan daun yang berwarna merah keperakkan dan mengkilap saat kena cahaya.


Sirih merah tumbuh merambat di pagar atau pohon. Ciri khas tanaman ini adalah berbatang bulat berwarna hijau keunguan dan tidak berbunga. Daunnya bertangkai membentuk jantung hati dan bagian ujung daun meruncing. Permukaan daun mengkilap dan tidak merata. Yang membedakan dengan sirih hijau adalah selain daunnya berwarna merah keperakan, bila daunnya disobek maka akan berlendir serta aromanya lebih wangi.

Ramuan sirih merah telah lama dimanfaatkan oleh lingkungan kraton Jogyakarta sebagai tanaman obat yang beguna untuk ngadi saliro. Pada tahun 1990-an sirih merah difungsikan sebagai tanaman hias oleh para hobis, karena penampilannya yang menarik. Permukaan daunnya merah keperakan dan mengkilap. Pada tahun-tahun terakhir ini ramai dibicarakan dan dimanfaatkan sebagai tanaman obat. Dari beberapa pengalaman, diketahui sirih merah memiliki khasiat obat untuk berbagai penyakit. Dengan ramuan sirih merah telah banyak masyarakat yang tersembuhkan dari berbagai penyakit. Oleh karena itu banyak orang yang ingin membudidayakannya.

Aspek budidaya
Sirih merah dapat diperbanyak secara vegetatif dengan penyetekan atau pencangkokan karena tanaman ini tidak berbunga. Penyetekan dapat dilakukan dengan menggunakan sulur dengan panjang 20 - 30 cm. Sulur sebaiknya dipilih yang telah mengeluarkan akar dan mempunyai 2 - 3 daun atau 2 - 3 buku. Untuk mengurangi penguapan, daun di kurangi sebagian atau buang seluruhnya. Sulur diambil dari tanaman yang sehat dan telah berumur lebih dari setahun. Cara perbanyakan dengan dengan setek dapat dilakukan dengan menyediakan media tanam berupa pasir, tanah dan kompos dengan perban-dingan 1 : 1 : 1. media tersebut dimasukkan ke dalam polibeg berdi ameter 10 cm yang bagian bawahnya sudah dilubangin. Setek yang telah dipotong-potong direndam dalam air bersih selama lebih kurang 15 menit. Setek ditanam pada polibeg yang telah berisi media tanam. Letakkan setek di tempat yang teduh dengan penyinaran matahari lebih kurang 60%.

Perbanyakan dengan cara pencangkokan dilakukan dengan memilih cabang yang cukup tua kira-kira 15 cm dari batang pokoknya, kemudian cabang tersebut diikat atau dibalut ijuk atau sabut kelapa yang dapat menghisap air. Pencangkokan tidak perlu mengupas kulit batang. Cangkok diusahakan selalu basah agar akarnya cepat tumbuh dan berkembang. Cangkok dapat dipotong dan ditanaman di polibeg apabila akar yang muncul sudah banyak. Untuk tempat menjalar dibuat ajir dari batang kayu atau bambu. Penyiraman dilakukan satu sampai dua kali dalam sehari tergantung cuaca.

Penanaman di lapangan dilaku-kan pada awal musim hujan dan sebagai tiang panjat dapat digunakan tanaman dadap dan kelor. Jarak tanam dapat digunakan 1 x 1 m, 1 x 1,5 m tergantung kondisi lahan.

Sirih merah dapat beradaptasi dengan baik di setiap jenis tanah dan tidak terlalu sulit dalam pemeliharaannya. Selama ini umumnya sirih merah tumbuh tanpa pemupukan. Yang penting selama pertumbuhannya di lapangan adalah pengairan yang baik dan cahaya matahari yang diterima sebesar 60 - 75%.

Penangan pasca panen
Tanaman sirih merah siap untuk dipanen minimal berumur 4 bulan, pada saat ini tanaman telah mempunyai daun 16 - 20 lembar. Ukuran daunnya sudah optimal dan panjang-nya mencapai 15 - 20 cm. Daun yang akan dipanen harus cukup tua, bersih dan warnanya mengkilap karena pada saat itu kadar bahan aktifnya sudah tinggi. Cara pemetikan dimulai dari daun tanaman bagian bawah menuju atas.

Setelah dipetik, daun disortir dan direndam dalam air untuk membersikan kotoran dan debu yang menempel, kemudian dibilas hingga bersih dan ditiriskan. Selanjutnya daun dirajang dengan pisau yang tajam, bersih dan steril, dengan lebar irisan 1 cm. Hasil rajangan dikering-anginkan di atas tampah yang telah dialas kertas sampai kadar airnnya di bawah 12%, selama lebih kurang 3 - 4 hari. Rajangan daun yang telah kering dimasukkan ke dalam kantong plastik transparan yang kedap air, bersama-sama dimasukan silika gel untuk penyerap air, kemudian ditutup rapat. Kemasan diberi label tanggal pengemasan selanjutnya disimpan di tempat kering dan bersih. Dengan penyimpanan yang baik simplisia sirih merah dapat bertahan sampai 1 tahun.

Cara penggunaan simplisia sirih merah yaitu dengan merebus sebanyak 3 - 4 potongan rajangan dengan satu gelas air sampai mendidih. Setelah mendidih, rebusan tersebut disaring dan didinginkan. Penggunaan sirih merah dapat dilakukan selain dalam bentuk simplisia juga dalam bentuk teh, serbuk, dan ekstrak kapsul.

Pembuatan serbuk sirih merah yaitu diambil dari simplisia yang telah kering kemudian digiling dengan menggunakan grinder mencapai ukuran 40 mesh. Pengemasan dilakukan pada kantong plastik transparan dan diberi label. Sedangkan ekstrak kapsul dibuat dari hasil serbuk yang di ekstrak dengan menggunakan etanol 70%. Ekstrak kental yang didapat ditambahkan bahan pengisi tepung beras 50% dan dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 400C, setelah kering dimasukkan ke dalam kapsul.

Kandungan kimia
Tanaman memproduksi berbagai macam bahan kimia untuk tujuan tertentu, yang disebut dengan metabolit sekunder. Metabolit sekunder tanaman merupakan bahan yang tidak esensial untuk kepentingan hidup tanaman tersebut, tetapi mempunyai fungsi untuk berkompetisi dengan makhluk hidup lainnya. Metabolit sekunder yang diproduksi tanaman bermacam-macam seperti alkaloid, terpenoid, isoprenoid, flavonoid, cyanogenic, glucoside, glucosinolate dan nonprotein amino acid. Alkaloid merupakan metabolit sekunder yang paling banyak diproduksi tanaman. Alkaloid adalah bahan organik yang mengandung nitrogen sebagai bagian dari sistim heterosiklik. Nenek moyang kita telah memanfaatkan alkaloid dari tanaman sebagai obat. Sampai saat ini semakin banyak alkaloid yang ditemukan dan diisolasi untuk obat moderen.

Para ahli pengobatan tradisional telah banyak menggunakan tanaman sirih merah oleh karena mempunyai kandungan kimia yang penting untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam daun sirih merah terkandung senyawa fitokimia yakni alkoloid, saponin, tanin dan flavonoid. Dari buku ”A review of natural product and plants as potensial antidiabetic” dilaporkan bahwa senyawa alkokoloid dan flavonoid memiliki aktivitas hipoglikemik atau penurun kadar glukosa darah.

Kandungan kimia lainnya yang terdapat di daun sirih merah adalah minyak atsiri, hidroksikavicol, kavicol, kavibetol, allylprokatekol, karvakrol, eugenol, pcymene, cineole, caryofelen, kadimen estragol, terpenena, dan fenil propada. Karena banyaknya kandungan zat/senyawa kimia bermanfaat inilah, daun sirih merah memiliki manfaat yang sangat luas sebagai bahan obat. Karvakrol bersifat desinfektan, anti jamur, sehingga bisa digunakan untuk obat antiseptik pada bau mulut dan keputihan. Eugenol dapat digunakan untuk mengurangi rasa sakit, sedangkan tanin dapat digunakan untuk mengobati sakit perut.

Sirih merah sebagai tanaman obat multi fungsi
Sejak jaman nenek moyang kita dahulu tanaman sirih merah telah diketahui memiliki berbagai khasiat obat untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit, di samping itu sirih merah memiliki nilai-nilai spiritual yang tinggi. Sirih merah dipergunakan sebagai salah satu bagian penting yang harus disediakan dalam setiap upacara adat ”ngadi saliro”. Air rebusannya yang mengandung antiseptik digunakan untuk menjaga kesehatan rongga mulut dan menyembuhkan penyakit keputihan serta bau tak sedap.

Penelitian terhadap tanaman sirih merah sampai saat ini masih sangat kurang terutama dalam pengembangan sebagai bahan baku untuk bio-farmaka. Selama ini pemanfaatan sirih merah di masyarakat hanya berdasarkan pengalaman yang dilakukan secara turun-temurun dari orang tua kepada anak atau saudara terdekat secara lisan. Di Jawa, terutama di Kraton Jogyakarta, tanaman sirih merah telah dikonsumsi sejak dahulu untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Bedasarkan pengalaman suku Jawa tanaman sirih merah mempunyai manfaat menyembukan penyakit ambeien, keputihan dan obat kumur, alkaloid di dalam sirih merah inilah yang berfungsi sebagai anti mikroba.

Selain bersifat antiseptik sirih merah juga bisa dipakai mengobati penyakit diabetes, dengan meminum air rebusan sirih merah setiap hari akan menurunkan kadar gula darah sampai pada tingkat yang normal. Kanker merupakan penyakit yang cukup banyak diderita orang dan sangat mematikan, dapat disembuhkan dengan menggunakan serbuk atau rebusan dari daun sirih merah. Beberapa pengalaman di masyarakat menunjukkan bahwa sirih merah dapat menurunkan penyakit darah tinggi, selain itu juga dapat menyembuhkan penyakit hepatitis.

Sirih merah dalam bentuk teh herbal bisa mengobati asam urat, kencing manis, maag dan kelelahan, ini telah dilakukan oleh klinik herbal senter yang ada di Jogyakarta, di mana pasiennya yang berobat sembuh dari diabetes karena mengkonsumsi teh herbal sirih merah. Sirih merah juga sebagai obat luar dapat memperhalus kulit.

Secara empiris diketahui tanaman sirih merah dapat menyembuhkan penyakit batu ginjal, kolesterol, asam urat, serangan jantung, stroke, radang prostat, radang mata, masuk angin dan nyeri sendi.

Hasil uji praklinis pada tikus dengan pemberian ekstrak hingga dosis 20 g/kg berat badan, aman dikonsumsi dan tidak bersifat toksik, pada dosis tersebut mampu me-nurunkan kadar glukosa darah tikus sebesar 34,3%. Lebih tinggi penu-runannya dibandingkan dengan pem-berian obat anti diabetes militus komersial Daonil 3,22 mml/kg yang hanya menurunkan 27% glukosa darah tikus. Hasil uji praklinis pada tikus, dapat di pakai sebagai acuan penggunaan pada orang yang menderita kencing manis. Saat ini sudah cukup banyak klinik herbal center yang menggunakan sirih merah sebagai ramuan atau terapi yang berkhasiat dan manjur untuk penyembuhan berbagai jenis penyakit

Tanaman sirih merah dapat beradaptasi dengan baik di setiap jenis tanah sehingga mudah dikembangkan dalam skala besar (Sumber: Feri Manoi, Warta Puslitbangbun Vol.13 No. 2, Agustus 2007). Terakhir Diperbaharui (Sunday, 17 February 2008).

Dicopas dari http://balittro.litbang.deptan.go.id

Lanjut membaca “Sirih Merah sebagai Tanaman Obat Multi Fungsi”  »»

Perempuan Itu…

Perempuan itu begitu dekat dengan kita. Ketika ia bernama Ibu, maka sepanjang hayat ia berada di hati dan di sisi kita. Ia menjadi sumber dalam kehidupan kita. Sumber kasih sayang nan tak berujung. Sumber cinta nan iklas tak berharap imbalan apapun. Sumber kekuatan di saat kita mendapat masalah. Sumber kepercayaan di saat kita butuh tempat buat mengadu. Ketika perempuan itu bernama ibu, betapa dekatnya kita dengannya. Bahkan kita tak bisa menyembunyikan rahasia terdalam di hati kita. Karena seorang ibu adalah perempuan yang dipercaya Tuhan untuk memberi kesempatan kepada kita untuk ada di kehidupan ini. Kepada musuh dan lawan kita tak jerih setapak pun, tetapi di haribaan pangkuan ibu kita tunduk dan bertaubat.

Perempuan itu begitu dekat dengan kita. Ketika dia bernama istri, dialah pasangan di dalam segala upaya sekaligus pasangan di saat berbagi. Bersamanya kita berupaya di dalam menjalani tugas kehidupan. Dengannya kita berbagi di dalam mengatasi beban dan permasalahan keseharian. Bersamanya kita berbagi pikiran, gagasan serta rencana untuk berbagai solusi. Bahkan bersamanya pula kita berbagi rasa senang, sakit, hingga berbagi kesepian. Ketika perempuan itu bernama istri, betapa dekatnya kita dengannya. Nyaris tak berjarak, serasa kita hafal jumlah helai rambut dan lubang pori-pori di sekujur tubuhnya. Kepada musuh dan lawan seorang lelaki menantang, tetapi pada tatapan dan peluk kasih istri seorang jagoan menjadi jinak.

Ketika perempuan itu bernama siapa saja, bersamanya pula kita ditakdirkan mengisi semesta kehidupan ini. Perempuanlah yang membuat kehidupan menjadi harmoni di dunia lelaki, dan demikian sebaliknya, lelaki tiada lain adalah pembawa harmoni pula bagi dunia perempuan. Dan sejatinya, tiada maksud apapun dari kehidupan yang diciptakan Tuhan ini kecuali untuk satu tujuan: harmoni!

Sayangnya, kita semua acapkali mengabaikan harmoni. Kita, terutama laki-laki, lebih berkarib kepada ego gender dan berikukuh pada argumen kodrati. Perempuan yang sejatinya selalu bersama-sama dengan kita membentuk harmoni kehidupan, senantiasa lebih ditempatkan pada posisi sebagai “yang kedua” atau posisi “yang setelah”. Bahwa, ego selalu membuat laki-laki menempatkan dirinya sebagai “yang serba”, yakni serba bisa dan serba mampu, serta serba menguasai!

Ironisnya, mungkin karena ego gender laki-laki ini sudah lestari begitu lama bahkan sepanjang usia kehidupan itu sendiri, perempuan pun seolah dengan alamiah ber-“tahu diri” untuk menempatkan dirinya sebagai “yang setelah” itu. Dan kita kemudian dengan sederhana mendefinisikan, bahwa sudah kodratnyalah perempuan harus berada di dapur dan di halaman rumah, sementara lelaki turun ke jalan dan dengan merdeka boleh memasuki setiap bagian kehidupan, dari tempat yang paling benderang hingga lorong-lorong paling gelap dan culas di dunia ini.

Karena terpaksa untuk mengambil sikap tahu diri inilah, perempuan justru kian ditinggalkan. Dunia yang kemudian secara de facto dikuasai dan diatur kaum lelaki, menciptakan garis pemisah atas perempuan dan keperempuanan. Bahkan sepanjang pengalaman kita hingga hari ini, laki-laki pun memproyeksikan Tuhan seakan-akan menjadi diskriminatif. Bahwa wahyu Tuhan konon hanya diturunkan kepada lelaki. Tuhan belum pernah memilih perempuan untuk menjadi nabi.

Maka di dalam fakta, sadar atau tidak, dunia dan kehidupan yang diatur laki-laki ini selalu munafik atas keberadaan kaum perempuan, karena sejatinya lelaki selalu jerih bersaing dengan mereka. Dan untuk membenarkan agar perempuan memang lebih lemah, lebih bodoh serta lebih tak berbobot dengan laki-laki, kaum lelaki dengan kekuatan dan kekuasaannya membatasi kiprah perempuan. Dalam jangka waktu yang lama sekali, perempuan dikondisikan untuk tidak perlu bahkan tidak boleh ikut bersekolah. Pun ketika jaman sudah berubah dan istilah emansipasi didengung-dengungkan, perempuan masih tidak perlu ikut berpolitik. Perempuan tidak perlu ikut mengambil kebijakan. Perempuan tidak perlu ikut mengambil keputusan. Kalau bisa, perempuan tidak usah ada di mana-mana kecuali di tempat untuk kebutuhan biologis seputar melahirkan anak, menyusui, menyediakan makanan dan merawat laki-laki.

Begitu teganya dunia yang diatur dalam kebijakan laki-laki. Perempuan yang begitu dekat dengan kita, yang membuat harmoni kehidupan, selalu kita tinggalkan dengan perasaan tak bersalah. Bahkan hingga hari ini khususnya dalam konteks sosial politik di tanah air, ketika kita gegap gempita dengan urusan pencalonan wakil rakyat, dunia laki-laki pun tetap tak iklas dan fair memberi porsi kepada perempuan. Dengan bangga dunia lelaki menyisakan ruang sebanyak 30 persen bagi perempuan Indonesia untuk menjadi calon legislatif dalam tiap-tiap partai, dengan bangga dunia laki-laki mengumumkan bahwa kursi di gedung dewan harus berisi 30 persen oleh anggota perempuan.

Tetapi kenapa mesti 30 persen? Kenapa harus ada prosentase? Kalau memang ingin fair, kenapa prosentase itu tidak dihilangkan saja, tetapi berikan ruang yang sama dengan laki-laki, baik saat menjadi calon dari partai maupun nanti setelah benar-benar menjadi wakil rakyat di dewan. Kalau memang mau fair, biarkanlah perempuan ikut bersaing bebas untuk merebut kursi. Entah hasilnya nanti kaum perempuan tidak mencapai 30 persen atau mungkin lebih dari 50 persen berhasil duduk di dewan, itu bukanlah hasil rekayasa atau belas kasihan dunia politik laki-laki, tetapi benar-benar merupakan hasil dari sebuah kompetisi yang demokratis. Penjatahan kursi sebanyak 30 persen bagi kaum perempuan untuk duduk di legestalif adalah sama dengan pelecehan terhadap dunia perempuan. Perempuan itu…

Ditulis oleh Nanoq da Kansas
Dicopas dari SINI

Lanjut membaca “Perempuan Itu…”  »»

Perempuan Itu Mampu Tapi Tidak Mau!

Dalam sejarah Indonesia, perjuangan emansipasi ditandai dengan surat-surat RA Kartini kepada sahabatnya di Belanda. Lewat surat-surat yang sangat cerdas itu, bangsawan dari Jepara itu curhat seputar marginalisasi yang menimpa kaumnya. Saat memasuki jaman yang lebih modern, apa yang diungkapkan Kartini terasa masih relevan. Ternyata setelah hampir seratus tahun, jika ditempatkan dalam konteks jamannya, posisi kaum perempuan di negeri ini masih saja jauh dari cita-cita emansipasi. Apakah kondisi tersebut karena kesalahan pemerintah, kaum laki-laki atau justru dari kaum perempuan itu sendiri?

Beberapa tokoh perempuan yang ditemui Indep News baik dari kalangan politisi, birokrasi hingga PKK menyatakan, kemampuan perempuan sama atau justru lebih dibandingkan kaum laki-laki. Tapi mereka mengakui, kemajuan kaum Hawa ini masih terhadang dengan berbagai rintangan seperti paham sosio kultural lingkungan, ekonomi hingga keluarga. Ni Ketut Tresnawati Bulan, salah satu politisi perempuan dari Jembrana menilai, meski sistem politik saat ini sudah memberikan ruang lewat kuota 30% untuk caleg perempuan, tapi masih sangat sedikit yang memanfaatkannya. “Kalaupun perempuan mau jadi caleg, untuk penggalangan suara tidak seintens dibandingkan caleg laki-laki,” keluhnya. Bulan melihat, kenyataan ini berkaitan erat dengan image negatif seputar perempuan yang kerap keluar malam. Sebagai politisi, Bulan mengaku, seringkali dirinya harus bertemu dengan konstituensnya hingga malam hari. “Harus diakui, masyarakat kita masih susah menerima perempuan yang pulang malam. Padahal pulang malam itu tidak identik dengan hal-hal yang negatif, kalau jadi politisi apalagi wakil rakyat kerja tidak akan maksimal kalau hanya berdiam diri di rumah,” katanya.

Dalam kesempatan ini Bulan juga mengkritisi proses pengkaderan di partai politik dimana masih ada kesan dominasi laki-laki yang kuat. “Jumlah kader perempuan yang mengikuti kegiatan partai di tingkat nasional masih sangat sedikit. Harusnya partai lebih memberikan ruang kepada kami, minimal kuota 30% kan juga bisa dipakai di intern parpol saat ada kegiatan pengkaderan,” jelasnya. Ia yakin, jika kesempatan dalam hal ini sama, maka kemampuan perempuan akan berkembang pesat. Dirinya yang sudah merasakan “kesuksesan” sebagai politisi perempuan merasa, dalam berbagai hal sesungguhnya kaumnya memiliki kemampuan lebih. Dengan kepekaan alami sebagai wanita, politisi-politisi dari kaum ini memiliki tanggungjawab lebih.

Soal kemampuan perempuan dalam mengawal tanggungjawab yang dibebankan kepadanya juga ditegaskan oleh Kepala BPN Jembrana, Ayu Tresna Laksmi. Perempuan yang boleh dibilang melesat karirnya di birokrasi pemerintahan ini mengatakan, intinya perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki. “Contoh kalau diberi tanggungjawab perempuan akan lebih cepat menyelesaikan,” katanya. Ia juga menambahkan, kalau dinilai secara obyektif, sejatinya perempuan lebih kuat dibandingkan laki-laki. “Kalau perempuan itu bekerja dengan jam-jam tertentu, sebelum atau sepulang kerja pasti ia masih menyempatkan diri mengurus rumah tangga meski capek. Artinya kami kan kaum yang kuat,” imbuhnya. Ia melihat, belum tercapainya cita-cita emansipasi lebih disebabkan image bahwa perempuan itu lemah. “Padahal tidak seperti itu, kita memang hamil dan melahirkan, tapi tidak lantas kodrat itu selalu dijadikan alasan bahwa perempuan adalah kaum yang lemah,” tandasnya.

Ayu mungkin salah satu perempuan yang beruntung karena berkarir di instansi yang memberikan kesempatan sama bagi pegawainya tanpa memandang gender. Menurutnya, di BPN jika pegawainya ingin naik jenjang karirnya maka seleksi akan dilakukan lewat tes. Dengan mengambil contoh dirinya, Ayu melihat, perlu diciptakan sistem di seluruh instansi pemerintahan agar kompetisi karir antara kaum laki-laki dan perempuan lebih adil. “Kalau sistem sudah memberikan kesempatan yang sama, maka tidak ada alasan perempuan harus tertinggal,” ujarnya. Agar bisa memberikan peran yang lebih dimanapun dirinya berada Ayu menyarankan kaumnya untuk meningkatkan kecerdasan pola pikir, emosional dan spiritual.

Sementara Camat Negara, Ni Wayan Koriani, birokrat perempuan lainnya mengatakan, soal berhasil atau tidaknya perempuan dalam bingkai emansipasi sangat tergantung pada mereka sendiri. Ia menyadari, tidak semua perempuan memiliki SDM yang bagus, pun tidak semua kaumnya memiliki kemauan untuk mengembangkan potensi diri. Menurut Kori, sebagian besar perempuan masih cepat puas diri. “Rata-rata perempuan sudah cukup puas dengan diberi nafkah yang cukup dari suami, sehingga malas untuk mengembangkan potensi dirinya. Padahal kalau potensi itu dikembangkan, perempuan akan memiliki nilai plus tanpa menganggu harmonisasi rumah tangganya,” kata Kori. Dengan pandangan seperti ini, Koriani melihat, persamaan gender oleh kaum perempuan tidak cukup hanya lewat jenjang pendidikan formal. “Tapi harus ada kesadaran diri, untuk tetap berkembang meski sudah menjadi ibu rumah tangga,” jelasnya.

Karena posisinya hingga saat ini belum ideal, Koriani menghimbau, agar gerakan emansipasi mencari terobosan-terobosan baru dalam perjuangannya. Menurutnya, tidak ada yang bisa membangkitkan persamaan gender selain dari perempuan itu sendiri. Selain itu kepada kaum laki-laki ia minta mereka memberikan ruang yang kondusif untuk perkembangan potensi perempuan. “Kalau ada perempuan yang ingin menapak karir seperti kaum laki-laki jangan diledeklah,” tambahnya. Dengan kesadaran bersama ini, Koriani yakin, kasus-kasus marginalisasi yang menimpa perempuan seperti kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) akan bisa diminimalisir. Tapi ia berpesan, jika sudah diberikan kesempatan perempuan jangan lantas merasa superior dengan menafikkan kaidah-kaidah moral. “Jangan nanti malah perempuan yang melakukan KDRT, sebab pelaku KDRT bisa berasal dari perempuan maupun laki-laki,” katanya.

Mendengarkan apa yang dilontarkan Bulan, Ayu maupun Koriani, jelas mereka optimis posisi perempuan semestinya sama dengan kaum laki-laki. Ketiga perempuan ini juga menggarisbawahi, emansipasi bukan berarti perempuan harus melupakan kodratnya apalagi sampai menganggu hubungan dalam rumah tangga. Justru mereka melihat, ketika keluarga baik itu suami maupun anak-anaknya memberikan support atas kegiatan positif yang dilakukannya, maka emansipasi perempuan akan lebih cepat terengkuh dan manis rasanya. Baik Bulan, Ayu maupun Koriani adalah contoh perempuan yang sukses berkat dukungan suaminya. Soal kemampuan apa yang dikatakan Ayu mungkin ada benarnya. Perempuan punya kemampuan tapi belum tentu mau, sementara laki-laki punya kemauan tapi belum tentu mampu. Nah!

dicopas dari sini

Lanjut membaca “Perempuan Itu Mampu Tapi Tidak Mau!”  »»

Copyright © 2008 - sirih merah - is proudly powered by Blogger
Blogger Template